TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
DIDI IRAWAN AR
15111003

FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ABULYATAMA
ACEH 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan
dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “PerananPromosi
Terhadap Peningkatan Volume Penjualan Pada Toko Graha Jepara Beurawe Banda Aceh”. Penulisan ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas
AbulyatamaLampoh Keude-Aceh Besar. Selanjutnya selawat dan salam kepada
junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa syiar Islam di atas
muka bumi ini.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis
telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang
penulis miliki. Namun penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dalam isi maupun teknis penulisannya. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan adanya pandangan pikiran,
berupa kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Pada kesempatan ini, perkenankan penulis
mengucapkan ribuan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1.
Bapak Fakhrurrazi Abbas, SE. MM selakupembimbing Iyang
telah banyak memberikan saran dalam penulisan Skripsiini.
2.
Ibu Yulfrita
Adamy, SE., M.Sisebagai dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktu dan pikirannya demi kesempurnaan Skripsi ini.
3.
Ayahanda dan Ibunda yang telah mendidik,
membesarkan, serta mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis guna tercapainya cita-cita.
4.
Bapak Reza Juanda, M.ec. Devselaku
Ketua Jurusan Manajemen Universitas AbulyatamaLampoh Keude-Aceh Besar.
5.
Teman-teman satu angkatan terutama jurusan
manajemen yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu, terima
kasih banyak atas bantuan dan dorongan yang telah diberikan, sehingga penulisan
Skripsi ini
dapat diselesaikan.
6.
Segenap Dosen-Dosen Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas
AbulyatamaLampoh Keude-Aceh Besar yang pernah membagi segala pengetahuannya
kepada penulis.
Akhirnya
kepada Allah SWT jualah kita berserah diri, karena segala sesuatu tidak akan
terjadi jika bukan atas kehendak-Nya. Amin ya rabbal ‘alamin.
Aceh Besar, November 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum Islam masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh
penduduk, hukum Islam pun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Norma atau kaidah dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah
terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses
interaksi sosial inilah hokum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum
dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia
berlangsung secar bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami
pentahapan. Di sisi lain setiap masyarakat pada umumnyasudah memiliki aturan
atau adat istiadat sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi
antara hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum
Islam di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam
dengan berbagai cara. Segala kebijakan, terutama di bidang politik dan hukum,
dibuat untuk mengebiri keberadaan hukum Islam. Di bidang politik misalnya,
Belanda menjalankan kristeningpolitiek,
yaitu upaya mendukung misi zending dan penyebaran agama Kristen ke dalam
masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum, pemerintah Belanda berusaha
mengkonfrontir hokum Islam dengan hokum adat dan mereduksi dalam
pemberlakuannya.
Kedudukan hukum Islam di dalam tata hukum di Indonesia
mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem yang berlaku,
tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga
sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem
hukum di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai
diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang
berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional banyak
peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam,
baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir
perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di
sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan
perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan
hukum Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum
Islam di Indonesia?
2. Apa saja teori-teori hukum islam
yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan
Mempelajari Tahap-Tahap
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia supaya kita mengetahui
lebih rinci bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia dan
tahap-tahap/periode-periode perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai
terjemahan al-fiqh al-islamy atau
dalam konteks tertentu dari al-syari’ah
al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law.
Hasbi Ash-Shiddieqi mendefenisikan hukum Islam adalah
koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan
masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum Indonesia, istilah hukum Islam dikenal
sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara
atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian
kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam
adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
bagi semua pemeluk Islam.
B. Perkembangan
Hukum Islam Di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum islam di
Indonesia, apabila dianut dari mulai masuknya agama islam hingga era reformasi
dapat dibagi dalam empat tahap. Pembagian kedalam empat periode ini didasarkan
pada corak, karakter, dan bentuk implementasi dalam realitas hukum yang
berlaku. Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa serta keinginan umat islam
menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum islam yang berlaku. Kedua
faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum islam dalam
sejarah perkembangannya di Indoneisa. Keempat tahapan tersebut sebagai berikut
:
1.
Masa
kerajaan Islam (Abad XII – XVIII M)
Fase ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya islam ke
Indonesia hingga masa kolonial Belanda. Berdasarkan data sejarah, islam mulai
menampakkan pengaruhnya sekitar abad XII hingga XIII. Masa ini disebut dengan
fase akulturasi, karena pada masa ini hukum islam mengalami adaptasi dengan
budaya lokal nusantara. Secara sosiokultural, hukum islam telah menyatu dan
menjadi ruang hukum dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari
akluturasi yang terjadi antara islam, sebagai agama, dengan budaya lokal. Di
beberapa daerah seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum
islam diterima tanpa perlawanan sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan
dengan adanya pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’
mengata adat memakai. Ungkapan ini menggambarkan kentalnya hubungan anatara
hukum islam dengan hukum adat.
Catatan sejarah tentang berlakunya
hukum islam pada masa ini tidak banyak diketahui. Hanya ada beberapa naskah,
khususnya naskah jawa, yang dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana
pemberlakuan hukum islam di masyarakat. Di jawa, cirinya dalam gelar raja
mataram yaitu : ingkang sinuhun (yang dipertuan), senopati ing ngalogo (
panglima perang) sayidin panotogomo kalipatullah ( pengatur urusan agama
sebagai pengganti rasulullah)
Pengaruh terkuatnya islam di Indonesia dalam aspek hukum
adalah dalam bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemiliharaan
dan penyelesaian hukum ini ditugaskan kepada hakim, dan penghulu dengan para
pegawainya. Para hakim diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya
disebut dengan peradilan swapraja. Ditingkat terendah (pemerintahan desa)
jabatan dipegang oleh modin, labai, amil, kayim, kaum, dan merbot. Kalau dijawa disebut kaum, maka di Makassar
disebut para mukim, disumatera dikenal dengan tauku meunasah, labia, malin, dan
sebagainya.
2.
Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan
abad )
Fase ini berlangsung sejak Belanda secara de facto
menancapkan kolonialismenya di Indonesia, yaitu abad 17, mereka berkepentingan
mengembangkan usaha perdagangan. Dari niat berdagang lambat laun muncul
keinginan untuk menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah. Sejarah
perkembangan hukum islam pada masa kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu
periode in complexu dan periode receptie.
1.
Periode pertama terjadi pada abad ke-17
higgga akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan Belanda pemberlakuan
hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam, yaitu sebagai berikut :
·
Pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda
memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku.
Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi
pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam. Resolusi ini dikenal dengan nama
Compendium Freijer.
·
Pepakem Cirebon yang dibuat atas usul
residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum
Jawa Kuno yang dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan
pidana. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan
undang-udang.
2.
Periode kedua ditandai dengan munculnya
kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat.
Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam.
Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah
hukum adat.
Upaya pertama
Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran system hukum Islam adalah dengan
memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai
penasehat hukum dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl
1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan
ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya lembaga ini menunjukkan adanya
pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam.
Direktur
pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Berdasarkan
penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah
yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan
control politik islam. Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima
atau dikehendaki oleh hukum adat.
Pada tahun 1931
keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu:
(1)
priesterred akan dihapuskan dan diganti
dengan pengadilan penghulu,
(2)
penghulu berstatus sebagai abdi
pemerintah dan mendapatkan gaji tetap,
(3)
pengadilan banding akan dibentuk untuk
mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu.
Peraturan ini
tidak pernah dilakanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk
mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang
pembenukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima
perkara banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan
penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana
perkara tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum
sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi hukum
antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap
peradilan hukum Islam dan hukum Islam. Jepang hanya
mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin
dan Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin.
Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus
perkawinan, dan kadang memberi nasehat dalam
bidang kewarisan.
3. Masa
Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia
sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan
hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan
yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi
bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan tapi
pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi dipilihnya
Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua
periode, yaitu periode persuasive-source
dan authoritative-source. Periode pertama persuasive adalah periode penerimaan hukum
islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan
menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie
UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat
tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang
beragama islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta ditempatkan
dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit presiden
disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni
1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945
ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut
hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.
Ketentuan di atas kemudian
diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No.
11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan
hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga
tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak
satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan
nasional dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam
rumusan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan
nasional yang sesuai
dengan cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan
nasional. Dalam peraturan perundang-undangan
kedudukan hukum islam semakin jelas, yaitu muncul legislasi hukum islam yang bersifat nasional, yaitu
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini
berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada
hukum yang berdasar keyakinan agama. Posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970
tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding.
Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan
resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin
jelas dengan ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama.
Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan
bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan
agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan
bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah biadang hukum keluarga (ahwal
al-syakhsiyah).
Pemberlakuan hukum islam semakin
menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan
memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat
dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul
perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti
UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas,
formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang
berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja.
Hukum islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang
perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang
Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang
berupa hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
4.
Masa
Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998),
keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada
masa ini mengalami kemajuan. Secara fakta, hukum islam mulai teraktualisasikan
dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya
dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik.
Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah.
Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999
tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004
tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang
hukum.
Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di berbagai
wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan
sepenuhnya di provinsi Nanggro Aceh Darusalam dan penegakan sebagian. Penegakan
model ini merupakan menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang
sedang mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk
Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang
membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan
dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44
tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan
tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
1.
Penerapan
syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
2.
Penggunaan
kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum
umum.
3.
Pemasukan
unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
4.
Pengakuan
peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas adalah
ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam. Fenomena pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-daerah lain
di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi
daerah, maka munculah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I
maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat,
kota Solok, Padang pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten,
Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan
masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh,
tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan
berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at, maka isinya
mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan
busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan
pelacuran, dan sebagainya.
C. TEORI-TEORI
MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Proses masuknya agama
Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan
berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan, teoriteori
tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
1.
Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya
Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung
pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini
adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA,
salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab.
2.
Teori Gujarat
Teori Gujarat
mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada
abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat,
berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan
adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah
J. Pijnapel dari
Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab
Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malebar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7
Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah
dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam
dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia
3.
Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses
kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini
Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan
argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi
tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari
suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah
“tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa
Parsi.
Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak
kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh
Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia.
Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena
ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan
membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan
Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi
pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia.
Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama
seperti kebanyak muslim di Iran.
4.
Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan
Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang
Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal
di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur
dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran
Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru
berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat
dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat),
dapat diterima.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Periode perkembangan hukum islam di
Indonesia terdiri dari masa kerajaan Islam abad XII-XVIII M, masa kolonial abad
XVIII- pertengahan abad XX, masa kemerdekaan (1945-1998) dan masa reformasi
(1998- sekarang). Dengan melalui empat tahap ini, menjadi suatu masa
perkembangan hukum – hukum islam yang berada di Indonesia.
Teori-teori hukum islam yang berlaku
di Indonesia yaitu, teori Mekah yang mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke
Indonesia langsung dari Mekah atau Arab, teori Gujarat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia
berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M, teori Persia mengatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari daerah Persia yang kini menjadi
Iran dan teori Cina mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia (khususnya di
Jawa) berasal dari para perantau Cina.
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012. fiqh
ushul fiqh: sejarah, metodelogi dan implementasi
di Indonesia. Yogyakarta: penerbit beranda publishing,
Ramulyo, Idris. 1993. azas-azas Hukum Islam: sejarah
timbul dan berkembangnya, Jakarta: raja grafindo persada
Lukito, Ratno. 1998.Pergumulan antara Hukum Islam dan
Adat di Indonesia, Seri XXXV, Jakarta : INIS
Supriyatna, dkk. 1991. Perkembangan berlakunya Hukum
Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kailjaga
Abdullah (ed), Taufiq. 1987. Sejarah dan Masyarakat:
Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar