MODUL X : KAIDAH-KAIDAH
FIKIH ISLAM DAN AL-AHKAM AL-KHAMSAH DAN RUANG LINGKUPNYA
1.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban kita
sebagai generasi baru dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha
untuk menegakkan negara dan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan
fiqh Islam keseluruh bagian tanah air kita. Karena tidak dapat di pungkiri
bahwa kemunduran fiqh islam berarti kerusakan dan kebinasaan masyarakat Islam.
Salah satu penyebaran fiqh islam tersebut dengan cara menguasai kaidah-kaidah
fiqh yang menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih dan lebih arif dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan, dan adat
kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah di dalam
memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan
tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang
terkandung di dalam fiqh.
2.
PEMBAHASAN
A.
KAIDAH-KAIDAH
FIQIH
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang
kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti
aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti
al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl ayat 26 : “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka
telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari
fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah
azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”. (Q.S. An-Nahl :
26) Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang
tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
kaidah fiqih adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Adapun manfaat dari kaidah Fiqh antara lain adalah :
(1). Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh.
(2). Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah
yang dihadapi.
(3). Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
(4). Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
1.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
a. Kaidah
ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
b. Kaidah-kaidah
ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah
furu’.
c. Kaidah-kaidah
ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil
yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
2.
Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
a. Meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam
kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah
itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih
maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag
menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan
seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
b. Al-Qawaid
al-Khamsah (lima kaidah asasi) Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
-
Kaidah asasi pertama “segala perkara
tergantung kepada niatnya” Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang
lain.
-
Kaidah asasi kedua “keyakinan tisak bisa
dihilangkan dengan adanya keraguan”.
-
Kaidah asasi ketiga “kesulitan
mendatangkan kemudahan” Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan
dan kesukaran.
-
Kaidah asasi keempat “kemudhoratan harus
dihilangkan” Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid
al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
-
Kaidah asasi kelima “adat kebiasaan
dapat dijadikan (pertimbangan) hukum” Adat yang dimaksudkan kaidah diatas
mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang
dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
3.
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
a. “ijthat
yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru” Hail ini
berdasarkan perkataan Umar bin Khattab : “itu adalah yang kami putuskan pada
masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
b. “apa
yang haram diambil haram pula diberikannya” Atas dasar kaidah ini, maka haram
memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa
diartikan tolong menolong dalam dosa.
c. “Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
d. “Petunjuk
sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan
tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini,
seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi
petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang
tersebut bukan hasil curian.
e. “Barang
siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak
mendapat sesuatu tersebut” Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka
pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
4.
Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus Banyak
kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan
lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu :
a. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah “Setiap yang sah digunakan untuk
shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
b. Kaidah
fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah Dalam hukum islam, hukum
keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan
hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu “Hukum asal pada
masalah seks adalah haram” Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada
asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang
menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
c. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi “Hukum asal dalam semua
bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang
tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi
dan riba.
d. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang jinayah Fiqh jinayah adalah hukum islam yang
membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang
pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah
: “Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian
atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah
maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat
dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
e. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang siyasah “Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan” Kaidah ini menegaskan bahwa seorang
pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti
keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
f. Kaidah
fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara) Lembaga peradilan saat
ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi
maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini
sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu : “Perdamaian
diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram” Perdamaian antara penggugat dan tergugat
adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.
B.
AL-
AHKAM dan AL – KHAMSAH
Ahkam adalah jamak dari hukm. Khamsah artinya lima.
Dengan demikian, yang dimaksud al-ahkam al-khamsah yang disebut juga hukum
taklifi adalah lima macam kaidah atau lima katagori penilayan mengenai benda
dan tingkah laku manusia dalam islam. Dalam al-ahkam al-khamsah ada lima
penilayan mengenai benda atau perbuatan manusia. Perbuatan itu mulai dari mubah
(ja’iz), sunnah (mandub), makruh, wajib (fardhu) dan haram. Di dalam sistem
tata norma islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini meliputi seluruh kehidupan
manusia, di dalam segala lingkungannya.
Dengan kata lain Al Ahkam Al Khamsah atau biasa
disebut Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau
orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam
bentuk hak, kewajiban maupun larangan. Kelima hukum taklifi antara lain :
(1).
WAJIB ( FARDHU) Wajib atau fardhu adalah
apa yang di tuntut oleh allah secara tegas. Baik yang ditetapkan berdasarkan
dalil qath’i ataupun dhanni. Sedangkan menurut Jumhur, wajib atau fardhu adalah
apa yang di tuntut oleh Allah untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, juga
yang pelakunya akan diganjar dan dipuji, dan demikian pula sebaliknya. Contoh,
seperti shalat lima waktu dan Puasa di bulan Ramadhan.˜Tajuddin Asubki, Jam’ ‘
al-Jami’. Juz I. Hal. 79-80 Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”, [QS. Al-Baqarah (2): 183] Wajib atau fadhu ini bisa
di klasifikasikan berdasarkan aspek yang berbeda, ada yang berkaitan dengan
pelaksanaannya, ukuranya dan ketentuanya, ketertentuan dan ketidaktertentuanya,
serta berkaitan dengan apa yang dibebankanya, sebagai berikut :
1. Dari
aspek pelaksanaanya, hukum wajib atau fardu tersebut dapat dibedakan menjadi :
a. Muthlaq
( tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan
dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat dengan waktu tertentu, seperti
mengganti puasa Ramadhan bagi yang tidak berpuasa krena uzhur yang dibenarkan
oleh syariat.
b. Muqayyad
(terikat), yaitu yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan
tuntutan yang tegas, sementara waktunya ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu
dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah tersebut terikat oleh waktu, sehingga
seorang mukallaf yang terkena kewajiban tersebut akan berdosa jika mengerjakannya
diuar waktunya.
-
Muwassa’ (longgar), yaitu kewajiban yang
waktu pelaksanaannya longgar. Contoh, shalat isya’, bisa dikerjakan diawal
ataupun ditengah malam.
-
Mudhayyaq (sempit), yaitu kebajiban yang
waktu pelaksanaannya sempit , tidak bisa dipilih antara awal ataupun
pertengahan. Misalnya puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai fajar hingga
terbenam matahari.
2. Dari
aspek keterukurannya, wajib atau fardu dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Muhaddad
al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat
syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai dengan kadar
ukuran tertentu, seperti membayar zakat dan rakaat dalam shalat fardu.
b. Ghayr
Muhaddat al-Miqdar (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh
pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai
kadar kadar tertentu, seperti membelanjakan harta dijalan Allah dan nafkah
kepada istri dan anak.
3. Dari
aspek substansi (ayniyyah-nya) wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan
menjadi :
a. Mu’ayyan,
yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar substansinya dikerjakan
dengan tuntutan yang tengas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang
mukallaf, seperti shalat.
b. Ghayr
Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan
tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf untuk menentukan
mana substansi kewajiban yang dikerjakan. Misal kafarat untuk sumpah.
4. Dari
aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut bisa
diklasifikasikan menjadi :
a. ‘Ayn
(perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh
setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karna itu apa yang dilakukan
seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya seperti,
shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
b. Kifayah
(kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh
sejumlah orang denga tuntutan yang tegas, jika telah dikerjakan oleh sebagian,
maka kewajiban tersebunt gugur dari dari pundak yang lain, dan mereka sudah
tidak berdosa.
5. Dari
aspek substantifnya, wajib danfardu tersebut juga dapat diklasifikasikan
menjadi :
a. Wajib
Lidzatihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan
yang tegas, karna substansinya.
b. Wajib
Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan
tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal,
ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban substantif.
(2) SUNNAH
( MANDUB) Menurut istilah syara’, sunnah adalah apa yang dituntut oleh pembuat
syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas, apa yang dilakukan
akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya. Sunnah kadang bersifat Muakkad
(yang dikuatkan), seperti sunnah shalat subuh dan Id. Ada yang tidak Muakkad,
seperti sunah shalat Ashar. Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan
mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, namun
adakalanya tidak baik untuk ditinggalkan seperti sunnah menikah. Karena jika
ditinggalkan, umat akan mengalami degenerasi atau tidak mempunyai penerus.
(3) HARAM
Secara etimologis, haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang
tidak boleh dilanggar. Menurut syara’ adalah apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai
saksi di dunia dan azab di akhirat. Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya
digunakan untuk larangan yang tegas disertai dalil qath’i, namun jika tidak
disertai dalil qath’i, maka disebut dengan makruh tahrim. Meskipun sebenarnya,
dua-duanya maksudnya sama. Sebagai contoh dalam Firman Allah , “Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk”. [17:32] Haram ini dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu haram substansial dan haram aksidental : 4˜Ibn’Abidin, Hasyiyah Ibnu
‘Abidin. Juz I. Hal 246 5Ibn an-humam. At-Tahrir, Musthafa al-Bab al-Halabi,
Kaero.hal.217.
1. Haram
Lidzatihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan
tuntutan yang tegas, karna substansinya. Misalnya zina, riba, membunuh dan
suap.
2. Haram
Lighayrahi ( aksidental), adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan
tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor
eksternal.Misalnya menghina tuhan para penganut agama lain.
(4).
MAKRUH Makruh adalah apa yang dituntut
untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak
akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar
oleh Allah SWT. Aktivitas yang berstatus hukum makruh dilarang namun tidak
terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan kata lain perbuatan makruh
dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Seperti
Makan/Minum sambil berdiri dan Merokok.
(5).
MUBAH Secara syar’i, mubah adalah
khithab dari pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya
berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai kompensasi.
Contoh seperti makan dan minum.
3.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari
banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi
bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya
(bagian-bagiannya)
2.
Salah satu manfaat dari adanya kaidah
fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok
masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh.
3.
Al-ahkam Al khamsah meliputi seluruh lingkungan
hidup dan kehidupan.
4.
Kelima komponen al akham al khamsah ini
berlaku di ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan hidup. Ia
menjadi ukuran perbuatan manusia baik yang bersifat ibadah maupun muamalah
SOAL
Coise
1. “keyakinan
tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan” kejelasan ini adalah kejelasan
dari asasi …
a. Ke
satu
b. Ke dua
c. Ke
tiga
d. Ke
empat
2. Kaidah-kaidah
Fiqh yang umum terdiri dari …
a. 28
b. 38
c. 48
d. 18
3. Firman
Allah yang mewajibkan puasa ada di surah dan ayat …
a. Al-Baqarah (2): 183
b. Al-Baqarah
(2):163
c. Al-Baqarah
(2): 185
d. Al-Baqarah
(2): 165
4. Arti
dari Muhaddad al-Miqdar adalah …
a. dengan ukuran tertentu
b. dengan
tanpa ukuran tertentu
c. dengan
adanyaukuran tertentu
d. dengan
suatu ukuran tertentu
5. arti
dari Ghayr Muhaddat al-Miqdar adalah …
a. dengan
ukuran tertentu
b. dengan tanpa ukuran tertentu
c. dengan
adanyaukuran tertentu
d. dengan
suatu ukuran tertentu
6. Dari
aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut bisa
diklasifikasikan menjadi …
a. perkepala dan kolektif
b. pekepalan
dan efektif
c. perkepala
dan efektif
d. pekepalan
dan kolektif
7. apa
yang dituntut oleh pembuat syariat agar substansinya dikerjakan dengan tuntutan
yang tengas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf,
seperti shalat adalah penjelasan dari …
a. Mu’ayyan
b. Ghayr
Mu’ayyan
c. Kifayah
d. ‘Ayn
8. Muwassa’
dan Mudhayyaq artinya …
a.
Sempit dan longgar
b.
Luas dan sempit
c.
Longgar
dan sempit
d.
Longgar dan luas
9. istilah
sunnah dalam al- ahkam dan al – khamsaha …
a.
ja’iz
b.
mandub
c.
‘Ayn
d.
Fardhu
10. Wajib
( fardhu) itu adalah …
a. apa yang di tuntut oleh allah
secara tegas
b. apa
yang dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak
tegas, apa yang dilakukan akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya
c. apa
yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya
akan dikecam, dikenai saksi di dunia dan azab di akhirat
d. apa
yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana
pelakunya tidak akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan
akan diganjar oleh Allah SWT
Essay
1. Jelaskan
apa yang di maksud dengan kaidah-kaidah fikih !
2. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan al-ahkam dan al-khamsah !
3. Sebutkan
apa tujuan dari kaidah fikih !
4. Sebutkan
apa-apa saja perbedaan antara kaidah ushul dengan kaidah fiqh !
5. Al-Qawaid
al-Khamsah mempunyai lima kaidah asasi, jelaskan !
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
H. Mohammad Daut Ali, SH, ”HUKUM ISLAM”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Drs. Hafidz
Abdurrahman, MA. “ USHUL FIQIH , Membagun Paradiqma Berfikir Tasyri’I”, Al-
Azhar Press, 2003, Bogor. http://moenawar.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar